Hingga saat ini, pandangan banyak ahli ekonomi pembangunan terhadap pembangunan ekonomi masih diwarnai oleh dikotomi antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Masih adanya kontroversi antara mana yang lebih dahulu untuk dilakukan dan dicapai, pertumbuhan ekonomi atau pemerataan pembangunan. Kontroversi tersebut muncul disebabkan karena penerapan strategi pembangunan ekonomi yang mengacu pada pertumbuhan (growth) dan pemerataan (equity) belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
Definisi Pembangunan
Istilah pembangunan seringkali digunakan dalam hal yang sama dengan pengembangan. Sehingga istilah pembangunan dan pengembangan (development) dapat saling dipertukarkan. Namun berbagai kalangan di Indonesia cenderung menggunakan secara khusus istilah pengembangan untuk beberapa hal yang spesifik. Meski demikian, sebenarnya secara umum kedua istilah tersebut diartikan secara tidak berbeda untuk proses-proses yang selama ini secara universal dimaksudkan sebagai pembangunan atau development (Rustiadi, 2006: vii-1).
Ada yang berpendapat bahwa kata “pengembangan” lebih menekankan proses meningkatkan dan memperluas. Dalam pengertian bahwa pengembangan adalah melakukan sesuatu yang tidak dari “nol”, atau tidak membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas (Rustiadi, 2006: vii-1).
Sumitro (1994) mendefinisikan pembangunan sebagai “suatu transformasi dalam arti perubahan struktur ekonomi. Perubahan struktur ekonomi diartikan sebagai perubahan dalam struktur ekonomi masyarakat yang meliputi perubahan pada perimbangan keadaan yang melekat pada landasan kegiatan ekonomi dan bentuk susunan ekonomi. Menurut penulis, pemahaman Sumitro ini terkait dengan pandangan Arthur Lewis (1954) tentang pentingnya transformasi struktur ekonomi pertanian ke struktur ekonomi industri dalam upaya menuju pertumbuhan (dalam aspek ini pengertian pertumbuhan asosiatif dengan pembangunan) ekonomi.
Dalam pada itu, Budiman (1995) membagi teori pembangunan ke dalam tiga kategori besar yaitu teori modernisasi, dependensi dan pasca-dependensi. Teori modernisasi menekankan pada faktor manusia dan budayanya yang dinilai sebagai elemen fundamental dalam proses pembangunan.
Kategori ini dipelopori orang-orang seperti (a) Harrod-Domar dengan konsep tabungan dan investasi (saving and investation), (b) Weber dengan tesis etika protestan dan semangat kapitalisme (the protestant ethic and the spirit of capitalism), (c) McClelland dengan kebutuhan berprestasi, (d) Rostow dengan lima tahap pertumbuhan ekonomi (the five stage of economics growth), (e) Inkeles dan Smith dengan konsep manusia modern, serta (f) Hoselitz dengan konsep faktor-faktor non-ekonominya.
Di lain sisi, Kartasasmita (1996) menyatakan, pembangunan adalah “usaha meningkatkan harkat martabat masyarakat yang dalam kondisinya tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Membangun masyarakat berarti memampukan atau memandirikan mereka”.
Menurut Tjokrowinoto (1997), batasan pembangunan yang nampaknya bebas dari kaitan tata nilai tersebut dalam realitasnya menimbulkan interpretasi-interpretasi yang seringkali secara diametrik bertentangan satu sama lain sehingga mudah menimbulkan kesan bahwa realitas pembangunan pada hakikatnya merupakan self project reality.
Secara filosofis, suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai “upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik” (Rustiadi, 2006: vii-1). Di lain sisi, UNDP mendefinisikan pembangunan dan khususnya pembangunan manusia sebagai “suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choices) (dalam Rustiadi, 2006: vii-1). Dalam konsep tersebut, penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimate end), bukan alat, cara atau instrumen pembangunan sebagaimana dilihat oleh model formasi modal manusia (human capital formation) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu.
Pembangunan yang dijalankan di Indonesia sejak tahun 1970-an hingga sekarang masih cenderung fokus pada pembangunan ekonomi, bahkan pada pertumbuhan ekonomi yang cenderung jangka pendek. Sehingga masalah keberlanjutan belum menjadi prioritas utama. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pertumbuhan ekonomi pun kualitasnya semakin memburuk. Apalagi dengan keterbatasan APBN dan sumber daya yang kita miliki, sehingga tidak mengherankan apabila pengambil kebijakan lebih memilih jalan pintas, yang cepat kelihatan hasilnya, kurang memperhatikan keberlanjutannya.
Padahal pembangunan berkelanjutan sudah menjadi tuntutan bagi pengambil kebijakan pembangunan dalam bumi yang semakin rusak ini. Namun demikian lingkungan hidup tidak mendapatkan banyak perhatian sejak lama baik pada skala global, regional ataupun negara. Apalagi negara sedang berkembang yang tengah banyak menghadapi permasalahan ekonomi seperti Indonesia. Sehingga degadrasi lingkungan telah banyak menurunkan kualitas hidup masyarakat, khususnya di negara sedang berkembang seperti Indonesia. Oleh karena itulah masyarakat dunia sejak tahun 1970-an mulai memberikan perhatian yang besar pada masalah lingkungan, dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan. Hal itu dapat dilihat diantaranya dari Stockholm Conference (1972), Agenda 21 di Rio Earth Summit (1992), dan Johannesburg Declaration (2002). Meski komitmen dan perhatian besar telah diberikan pada tingkat internasional, namun kondisi lingkungan hidup masih saja memburuk. Kita sekarang masih hidup dalam kondisi yang dapat merusak lingkungan hidup semakin parah, sehingga akan membahayakan kehidupan umat manusia pada masa mendatang. Oleh karena itulah usaha untuk menjaga lingkungan hidup agar pembangunan dapat berkelanjutan sehingga kepentingan kehidupan generasi yang akan datang terproteksi, menjadi semakin penting untuk diperjuangkan. Dengan demikian perlu adanya jaminan agar supaya dalam memenuhi kebutuhan sekarang kita tidak akan mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya.
Dalam perkembangannya disadari bahwa pembangunan berkelanjutan tidak hanya terkait dengan aspek lingkungan hidup, namun juga pembangunan ekonomi dan sosial yang dikenal dengan the living triangle. Tidaklah mungkin lingkungan dapat dijaga dengan baik bila kondisi sosial dan ekonomi masyarakat buruk. Oleh karena itulah dalam rangka melestarikan lingkungan hidup kita secara berkelanjutan, pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan juga perlu dilakukan. Tidaklah mungkin masyarakat yang untuk hidup saja sulit akan dapat menjaga lingkungannya dengan baik. Perhatian dan komitmen yang besar masyarakat internasional pada pembangunan berkelanjutan khususnya dari negera maju dalam beberapa conference adalah cukup besar. Namun demikian dalam implementasinya ternyata jauh dari harapan. Dapat dilihat bahwa Official Development Assistance (ODA) yang diberikan negara maju rata-rata hanya sebesar 0,27% dari PDB mereka pada tahun 1995, turun dari 0,34% pada tahun 1992. Pada tahun 2000 didapati hanya 4 negara yang menandatangi komitmen ODA memenuhi komitmennya. Hal ini mencerminkan bahwa pembangunan berkelanjutan pada tingkat globalpun seringkali hanya menjadi retorika politik belaka. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa upaya pembangunan berkelanjutan tidak mudah diimplementasikan (Cooper & Vargas, 2004).
Rendahnya komitmen negara maju dalam memenuhi komitmennya dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan tentu saja tidak dapat dipisahkan dengan rendahnya kepentingan negara maju untuk mendukung pembangunan berkelanjuitan global. Hal ini tentu saja erat kaitannya dengan kalahnya prioritas menjaga lingkungan dengan masalah aktual seperti meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi taupun menjaga agar dunia usaha dari negaranya yang banyak diwakili oleh TNCs terus berkembang dalam pasar global. Tingginya nilai politis dari kepentingan ekonomi jangka pendek tersebut memang akan mudah membuat politisi baik dari negara maju ataupun sedang berkembang akan mengedepankan kepentingan jangka pendek. Selain itu jangan lupa bahwa bargaining power dari bisnis raksasa di negara maju tentu saja juga besar sekali, sehingga akan mampu mendistorsi keputusan yang diambil oleh pejabat publik, dapat mengalahkan kepentingan publik dalam jangka panjang. Hal yang sama juga terjadi di negara kita, dimana seringkali pengambilan keputusan dibengkokan oleh kepentingan pemodal yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan. Sehingga tidaklah mengherankan jika World Trade Organization (WTO) yang menawarkan liberalisasi serta akses pasar yang lebih luas, serta kadang menawarkan solusi yang lebih menarik/menguntungkan terhadap berbagai isu yang sama (terkait dengan isu pembangunan berkelanjutan) dapat menjadi salah satu outlet bagi mereka. Oleh karena itulah dapat dipahami jika WTO berkembang pesat akhir-¬akhir ini. Sementara pembangunan berkelanjutan semakin tenggelam ditengah-tengah berbagai kemelut ekonomi yang dihadapi oleh banyak negara, khususnya negara Selatan.
Prinsip-prinsip ekonomi yang menekankan pada efisiensi ekonomi dengan maximizing benefit dan minimizing cost dari sudut pandang teori ekonomi memang sangat rasional. Sehingga dengan ekonomi yang semakin liberal ekonomi pada akhirnya banyak dikuasai oleh perusahaan transnational (TNCs) yang banyak beroperasi di negara sedang berkembang, baik untuk mendapatkan input khususnya sumber daya alam, maupun tenaga kerja murah, ataupun untuk memperluas pasar produk mereka. Sedangkan bagi negara sedang berkembang, globalisasi yang menjadikan masyarakatnya menjadi konsumen dari TNCs, juga menggunakan globalisasi untuk memperluas pasarnya, meskipun biasanya untuk produk primer ataupun sekunder dengan tingkat teknologi yang rendah. Sehingga banyak negara sedang berkembang yang terjerat utang ataupun masih harus berkubang dengan kemiskinan yang kronis. Bahkan Stiglitz dalam bukunya Globalization and Its Discontent (2002) mengatakan bahwa manfaat dari globalisasi lebih rendah dari klaim yang selama ini diyakininya, sebab harga yang harus dibayar juga mahal, karena lingkungan yang semakin rusak, demikian juga proses politik korup berkembang, dan cepatnya perubahan yang terjadi membuat masyarakat tidak dapat menyesuaikan budayanya.
Liberalisasi pasar yang semakin melibas perekonomian di banyak Negara juga telah menghambat pembangunan berkelanjutan. Martin Khor direktur dari Third World Network melihat bahwa lieberalisasi dan globalisasi yang menekankan pada "daya saing" telah menghambat pembangunan berkelanjutan sehingga merusak lingkungan. Liberalisasi dan globalisasi telah memperburuk lingkungan global karena tidak adanya aturan dan pengawasan pada TNCs di pasar global sehingga meningkatnya volume bisnis mereka meningkatkan kerusakan lingkungan. Padahal aktivitas TNCs telah banyak merusak lingkungan hidup (penghasil lebih dari 50% greenhouse gases). Demikian juga kebijakan yang liberal dan integrasi pasar telah mendorong peningkatan eksploitasi dari sumber daya alam seperti hutan dan kelautan sehingga mendorong kerusakkan lingkungan yang serius. Selain itu globalisasi mendorong ekplorasi sumber daya alam yang melampau batas keberlangsungannya seperti air, tanah, dan mineral, telah banyak merusak lingkungan hidup.
Bagi negara seperti Indonesia, yang baru saja keluar dari krisis ekonomi, serta masih menghadapi banyak masalah ekonomi dan sosial yang berat, sehingga menghadapi proses globalisasi baik dalam kerangka ASEAN Free Trade Area (AFTA) tahun 2010, ASEAN Economic Community tahun 2015, Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), dan WTO adalah tidak mudah. Oleh karena itu membangun kembali Indonesia tidaklah mudah pada saat ini. Apalagi membangun secara berkelanjutan ditengah-tengah pasar yang semakin liberal.
Tantangan Indonesia
Potret pembangunan berkelanjutan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan potret internasional, bahkan cenderung lebih buruk. Meskipun komitmen pemerintah nampaknya cukup besar sejak jaman Orde Baru, diantaranya dapat dilihat dengan keberadaan Kementrian Negara Lingkungan Hidup yang tentunya diikuti dengan kebijakan dan anggaran untuk melestarikan lingkungan hidup. Namun komitmen dan keberadaan kementrian yang menjaga lingkungan hidup pun ternyata tidak mencukupi. Dapat dilihat dari kerusakkan lingkungan hidup Indonesia yang masih saja berlanjut, sehingga bencana alam semakin banyak terjadi di tanah air kita yang tercinta ini. Laut, hutan dan lingkungan hidup lainnya pada umumnya semakin rusak.
Seperti sudah dibahas sebelumnya bahwa menjaga lingkungan tidaklah dapat berdiri sendiri. Pembangunan berkelanjutan dengan melestarikan lingkungan hanya akan berhasil jika dipadukan secara terintegral dengan pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan. Oleh karena itulah perlu kebijakan yang terintegral dalam pembangunan lingkungan dengan pembangunan ekonomi dan sosial agar dapat memberikan hasil yang optimal. Meski demikian desain program yang baikpun belum menjamin keberhasilan pembangunan berkelanjutan. Banyak bukti menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan berkelanjutan seringkali terganjal oleh kurangnya implementasi yang baik. Secara prinsip pembangunan berkelanjutan sebenarnya harus terefleksi dalam cara berfikir, hidup, memerintah dan berbisnis dari seluruh masyarakat. Oleh karena itulah dalam kerangka mensukseskan pembangunan berkelanjutan banyak sekali aspek yang perlu dibenahi.
Kegagalan implementasi kebijakan, program ataupun proyek-proyek pada pembangunan berkelanjutan seringkali karena tidak mempertimbangkan berbagai aspek yang perlu dilihat, baik dari sisi teknis, legal, fiskal, administrasi, politik, etik dan budaya (Cooper and Vargas, 2004). Pertanyaannya adalah apakah secara teknis suatu kebijakan fisibel erat kaitannya dengan apakah kita tahu apa yang perlu dilakukan, bagaimana caranya? Seringkali tantangannya disini adalah lebih pada masalah keberlanjutannya suatu kebijakan, dan apa yang dilakukan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Dari sisi legal tentu saja erat kaitannya dengan apakah secara legal kebijakan ataupun program yang dilakukan tidak melanggar rambu¬rambu yang ada. Dalam hal ini tantangan yang dihadapi adalah bagaimana kita mendesain infrastruktur legal yang diperlukan untuk pembangunan berkelanjutan. Ataupun kasus yang hangat akhir-akhir ini terkait dengan masalah illegal logging dan penegakkan hukumnya yang dinilai tidak memihak pada lingkungan. Jelas ini merupakan salah satu masalah terbesar bangsa Indonesia. Sedangkan dari sisi fiskal, tantangan yang dihadapi diantaranya adalah bagaimana mendesain kebijakan yang ongkosnya minimal ditengah beban fiskal yang berat untuk membayar hutang. Oleh karena itu dana untuk melaksanakan program pembangunan terbatas, sehingga perlu terobosan agar supaya secara fiskal baik dari sisi penerimaan dan pengeluaran dapat mendukung pembangunan berkelanjutan. Reformasi fiskal yang tengah kita gulirkan mestinya juga didasari oleh kepentingan melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Adapun aspek administrasi erat kaitannya dengan kemampuan organisasi dan kemampuan manajerial untuk melaksanakan secara konsisten kebijakan yang ada. Dalam hal ini koordinasi baik secara horizontal ataupun vertikal, baik di pusat maupun daerah, ataupun antar pusat dan daerah, ataupun antar daerah, sangat krusial untuk dilakukan. Seringkali ego antar instansi dan juga antar pemerintah pusat dan daerah membuat koordinasi untuk melaksanakan kebijakan secara konsisten sulit untuk dilakukan. Aspek politik juga memegang peranan penting dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Selain political will untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan penting. Namun stabilitas politik juga memegang peranan penting dalam hal ini. Untuk itulah perlu pembangunan institusi dan juga perbaikkan pemerintahan untuk mensukseskan pembangunan berkelanjutan. Sedangkan aspek etika dan budaya juga memegang peranan penting dalam implementasi kebijakan pembangunan berkelanjutan. Itu semua menunjukkan bahwa mengimplementasikan kebijakan pembangunan berkelanjutan tidaklah mudah. Meski demikian tidak berarti tidak dapat dilakukan.
Pembangunan berkelanjutan tidaklah mudah dilakukan oleh negara yang masih menghadapi banyak masalah ekonomi seperti Indonesia. Beban hutang yang besar, kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, serta stabilitas ekonomi yang rapuh serta pertumbuhan ekonomi yang berkualitas rendah membuat pemerintah menghadapi tantangan besar dalam mengimplementasikan kebijakan ekonomi berkelanjutan.
Sementara itu kondisi keungan negara yang berat, hutang luar negeri yang besar, serta fundamental ekonomi yang masih rapuh, disertai dengan kualitas pertumbuhan ekonomi yang memburuk. Membuat Indonesia akan mudah terjebak memilih kebijakan ekonomi yang cenderung menguntungkan dalam jangka pendek. Khususnya dengan mengeksploitasi sumber daya alamnya, ataupun memberikan kelonggaran yang lebih besar pada kegiatan ekonomi yang berpotensi merusak lingkungan baik dari industrialis domestik ataupun asing. Pembangunan berkelanjutan menjadi semakin mahal untuk diimplementasikan.
sumber : www.googgle.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar