Selasa, 26 April 2011

Peran Sektor Luar Negeri Bagi Indonesia

Pola dan proses dinamika pembangunan ekonomi di suatu negara ditentukan oleh banyak faktor baik domestik mapun eksternal. Faktor-faktor domestik antara lain kondisi fisik (termasuk iklim), lokasi geografis, jumlah dan kualitas sumber daya alam (SDA), dan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki, kondisi awal ekonomi, sosial dan budaya, sistem politik, serta peranan pemerintah di dalam ekonomi. Adapun faktor-faktor eksternal di antaranya adalah perkembangan teknologi, kondisi perekonomian dan politik dunia, serta keamanan global. Berikut adalah beberapa Organisasi luar yang mempengaruhi Indonesia :
  •     IGGI
Kelompok Antarpemerintah bagi Indonesia (Intergovernmental Group on Indonesia; disingkat IGGI; dulunya disebut Consultative Group on Indonesia atau CGI) adalah sebuah kelompok internasional yang didirikan pada tahun 1967 oleh Belanda untuk mengkoordinasikan dana bantuan multilateral kepada Indonesia.
Selain Belanda, anggota lain IGGI adalah Bank Pembangunan Asia, Dana Moneter, UNDP, BankDunia, Australia, Belgia, BritaniaRaya, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Selandia Baru, Swiss dan Amerika Serikat.
IGGI mengadakan pertemuan pertamanya pada 20 Februari 1967 di Amsterdam. Indonesia saat itu diwakili Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dari 1967 hingga 1974, IGGI mengadakan dua kali pertemuan setiap tahunnya, namun sejak 1975, pertemuan hanya diadakan sekali dalam setahun karena perkembangan ekonomi Indonesia yang membaik. Bantuan awal IGGI adalah dalam penyusunan program rencana lima tahun Indonesia, Repelita I (1969-1973) dan pendanaan 60% darinya.
Pada Maret 1992, pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa dana bantuan IGGI akan ditolak jika organisasi tersebut masih diketuai Belanda. IGGI kemudianpun digantikan Consultative Group on Indonesia (CGI). Keputusan ini juga terjadi setelah Ketua IGGI, Jan Pronk, mengecam tindakan Indonesia terhadap pembunuhan para pengunjuk rasa di Timor Timur pada tahun 1991.
Setelah berhasil membasmi kekuatan Partai Komunis Indonesia, PKI, pemerintahan Orde Baru bersiap-siap menjalin kerja sama dengan blok Barat. Untuk itu, Indonesia bersedia membayar ganti-rugi atas nasionalisasi perusahaan asing.
Blok Barat merangkul penguasa Orde Baru dan siap membantu pembangunan ekonomi Indonesia. Pada tahun 1967 terbentuk kelompok negara dan lembaga internasional, Intergovernmental Group on Indonesia, IGGI. Sejak saat pendirian, Belanda menjadi ketua kelompok ini, dan sidang IGGI, selalu berlangsung di Belanda.

Hubungan Belanda–Indonesia semakin akrab. Pada tahun 1970, Presiden Soeharto melakukan kunjungan kenegaraan ke Belanda. Dan pada tahun berikutnya, Ratu Juliana, melakukan kunjungan balasan ke Indonesia.
Sementara itu, makin banyak kalangan di Belanda mengikuti perkembangan di Indonesia dengan kritis. Korupsi meraja lela. Pelanggaran hak azasi manusia makin menjadi-jadi. Masyarakat internasional mulai mempertanyakan legalitas penahanan orang-orang yang dicap sebagai anggota PKI di Pulau Buru.
Pada tahun 1979, atas desakan dunia internasional, pemerintah Orde Baru mengembalikan para tahanan politik (tapol) ke daerah asal mereka, dan secara bertahap membebaskannya.
Di luar negeri, suara kritis terhadap pelanggaran HAM di Indonesia makin gencar.Operasi Pembunuhan Misterius (Petrus) pada tahun 1980-an membuat kecaman makin gencar. Ketika Belanda mengecam keras peristiwa penembakan terhadap para demonstran di kompleks pemakaman Santa Cruz Dilli, 12 November 1991, pada bulan Maret 1992 Jendral Soeharto memutuskan membubarkan IGGI.
  •       IMF
Krisis multidimensi yang terjadi di Asia pada tahun 1997 merupakan kejadian yang sangat nahas bagi negara-negara di kawasan tersebut. Nilai mata uang negara-negara di kawasan Asia ini turun dengan cepat dan drastis. Sebut saja Thailand (baht), Malaysia (ringgit), Singapura (dolar Singapura), Indonesia (rupiah), dan Korea Selatan (won). Indonesia merupakan negara yang terkena dampak paling parah, nilai rupiah yang biasanya ada di kisaran Rp 2.600,00 pada waktu itu bisa mencapai Rp 17.000,00. Bila dilihat dalam hitungan persen Korea Selatan mengalami penurunan -39,0% untuk (won), Thailand -37,5% untuk (baht), dan Indonesia -73,9% untuk (rupiah).Penurunan nilai rupiah ini berakibat pada penggelembungan hutang luar negeri yang berdampak pada kebangkrutan perusahaan-perusahaan yang tidak sanggup membayar hutang dalam bentuk mata uang asing karena jumlahnya yang meningkat menjadi 4 – 7 kali lipat. Jadi dapat dikatakan krisis yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997/1998 berdampak sistemik.
Sebenarnya penurunan rupiah ini mempunyai dampak positif dan negatif. Dampak positifnya paling dirasakan oleh para eksportir. Hal ini karena ketika nilai rupiah turun, barang dagangan mereka laku keras. Maksudnya dengan menurunnya nilai rupiah berarti barang-barang Indonesia menjadi murah di mata orang asing dan permintaan akan barabg-barang Indonesia menjadi meningkat di dunia. Meskipun mempunyai dampak positif, dampak negatifnya jauh lebih banyak. Pendapatan per kapita dalam hitungan dolar AS turun sekejap dari $ 1.115 menjadi $ 300 – 400 pada puncak krisis, dan utang luar negeri (pemerintah dan swasta) naik beberapa kali lipat. Pada akhir Desember 1997, utang luar negeri pemerintah Indonesia mencapai $ 137,42 milliar dan utang swasta $ 73,96 milliar.
Akibat dari krisis ini, Indonesia yang harus berusaha mengeluarkan diri dari krisis akhirnya bergantung pada bantuan IMF dan lembaga keuangan dunia lainnya untuk memulihkan keadaan ekonomi mereka. Namun, sebagai konsekuensi dari ketergantungan pada bantuan tersebut, pemerintah harus rela untuk melakukan syarat-syarat yang diberikan oleh IMF. Perubahan-perubahan signifikan pun harus pemerintah lakukan misalnya dalam deregulasi peraturan yang berhubungan dengan pasar kemudian melakukan privatisasi terhadap sejumlah sektor-sektor ekonomi.
Lalu dari latar belakang di atas, apa yang dilakukan IMF selaku organisasi yang bertugas sebagai pengatur sistem keuangan dan sistem nulai tukar internasional dalam mengeluarkan Indonesia dari krisis ini? Sebelum mengetahui langkah-langkah IMF? Apakah berdampak baik atau malah menambah beban Indonesia? Kita perlu mengetahui apa yang menyebabkan negara-negara di Asia pada tahun 1997-1998 mengalami krisis ekonomi melalui pendekatan teoritis, serta peran dan fungsi dari IMF itu sendiri!
Setelah kita sudah mengetahui penyebab-penyebab krisisnya, selanjutnya kita harus mengetahui juga apa fungsi dan tugas utama dari IMF, sebagai organisasi internasional yang pada waktu krisis 1997/1998 “berusaha” untuk membantu Indonesia keluar dari keadaan kelam tersebut.
IMF (International Monetary Fund) terbentuk secara resmi sejak tahun 1944, namun pertamuan pertama baru dilakukan pada tanggal 27 Desember 1945. Dalam pertemuan pertama baru 29 negara yang menghadirinya, dan baru setelah itu jumlah anggotanya bertambah hingga pada tahun 200 mencapai 182 negara. Peran yang dilakukan oleh IMF dalam kancah perekonomian dunia dalam menangani negara-negara yang mengalami krisis adalah dengan cara membantu memulihkan dan memperkuat sistem keuangan negara-negara tersebut secepat mungkin. Tujuan utama IMF dalam hal ini adalah untuk memperbaiki keadaan sesegera mungkin untuk menciptakan stabilitas moneter dunia, sebagaimana dinyatakan di dalam Statuta IMF, bahwa: “IMF dibentuk untuk mempromosikan kerja sama moneter internasional; untuk memfasilitasi kelangsungan dan perkembangan perdagangan internasional; mempromosikan stabilitas nilai tukar mata uang; memfasilitasi pembentukan sistem pembayaran multilateral; menyediakan dana taktis untuk disalurkan kepada negara-negara yang sedang mengalami krisis neraca pembayaran dengan syarat-syarat tertentu; dan untuk mengurangi kecenderungan disequilibrium neraca pembayaran negara-negara anggotanya. ”
Terlihat bahwa IMF merupakan sebuah organisasi multilateral yang sengaja dibentuk untuk menjaga stabilitas moneter dan perdagangan dunia melalui penyediaan paket-paket bantuan lunak kepada negara-negara yang sedang mengalami krisis neraca pembayaran pada tingkat yang dapat membahayakan perekonomian regional dan global. IMF memusatkan diri pada tiga macam kegiatan, yaitu :
1. Surveillance (monitoring): suatu proses dimana IMF melakukan penilaian secara reguler terhadap kinerja dan kerangka kebijakan nilai tukar mata uang masing-masing anggotanya yang hasilnya diterbitkan dua kali setahun di dalam World Economic Outlook.
2. Financial Assistance (bantuan keuangan): pemberian kredit lunak (bunga sangat rendah dan jangka waktu pengembalian sangat panjang) kepada negara-negara yang mengalami krisis keuangan dengan syarat-syarat tertentu.
3. Technical Assistance (bantuan teknis): penyediaan tenaga ahli dan pelbagai dukungan lainnya bagi negara-negara yang melakukan pembenahan kebijakan moneter dan fiskal, pengumpulan data statistik, pengembangan lembaga keuangan, penyempurnaan auditing neraca pembayaran, dan lain-lain.
Sebelum membantu negara-negara yang terkena krisis, sesuai dengan isi dari Konsensus Washington, IMF menyarankan negara-negara tersebut mengimplementasikan 10 elemen sebagai berikut: (1) disiplin fiskal; (2) prioritas pengeluaran publik; (3) reformasi pemungutan pajak; (4) liberalisasi finansial; (5) kebijakan luar negeri yang mendorong persaingan; (6) liberalisasi perdagangan; (7) mendorong kompetisi antara perusahaan asing dan domestik untuk menciptakan efisiensi; (8) mendorong privatisasi; (9) mendorong iklim deregulasi; (10) pemerintah melindungi hak kekayaan intelektual. Jika dipersingkat dari 10 elemen di atas adalah, liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi. Dan ketiga syarat tersebut harus dilakukkan bagi negara yang ingin dibantu oleh IMF. Nama programnya adalah Structural Adjustment Program (SAP)
Namun apa yang resep yang sebutkan di atas menurut Joseph Stiglitz, hanya akan berhasil atas sejumlah persyaratan. Kalau tidak hanya akan menambah beban negara. Contohnya, liberalisasi pasar hanya akan memarginalklan kelompok-kelompok petani di negara miskin yang tidak mampu bersaing secara sehat dengan negara-negara maju. Stiglitz menambahkan bahwa IMF tidak merencanakan program bantuannya dengan tidak lebih dulu meneliti secara spesifik negara yang akan dibantu. Hal ini diperkuat oleh Jeffrey Sachs yang mengatakan kalau IMF tidak meramu strategi yang pas untuk masing-masing negara karena memukul rata model krisis dari negara-negara tersebut. Mantan PM Malaysia Anwar Ibrahim menambahkan kalau IMF hanya memberi khutbah dan menekan negara yang menerima bantuannya.
Ketika Indonesia ditimpa krisis, IMF menyarankan untuk menaikkan tingkat suku bunga hingga 70% yang katanya untuk mencegah pelarian modal ke luar negeri. Resep IMF untuk menaikkan suku bunga tinggi ini memang berhasil meredam inflasi, tetapi untuk tidak daoat menyehatkan secara keseluruhan, malah kebijakan ini membuat sektor riil semakin tertekan. Pada saat Indonesia ingin mengambil inisiatif dengan CBS (Currency Board System) atau kebijakan kurs tetap, secara politik IMF menghalang-halanginya dengan menganncam akan memblokir bantuan dan mengajak seluruh anggota IMF untuk memboikot Indonesia jika menerapkan sistem tersebut. Mengapa IMF menyarankan Indonesia untuk memberlakukan SBI yang tinggi hingga 70% per tahun? Padahal Amerika juga sedang terkena krisis setelah WTC dihancurkan oleh teroris, tetapi Amerika tidak menaikan suku bunganya.
Dari sisi ekonomi politik, resep yang paling berbahaya bagi stabilitas ekonomi dan politik adalah pengetatan fiskal dan pengurangan anggaran. Pada saat krisis, dimana daya beli masyarakat turun drastis, IMF malah menganjurkan pengurangan subsisdi BBM dan TDL. Dalam sudut pandang ekonomi murni hal ini dapat dibenarkan, tetapi tidak dalam sudut pandang ekonomi politik. Hal ini karena waktu pengimplementasiannya kurang tepat, mana mungkin masyarakat yang daya belinya sedang turun dan seharusnya di bantu oleh subsidi dari pemerintah malah dicabut. Penarikan subsidi terbukti membuat kerusuhan dan masyarakat marah sehingga pada pertengahan 1998 terjadi kerusuhan besar di Indonesia terutama Jakarta.
Selain deregulasi dan liberalisasi, IMF juga menyarankan Indonesia agar melakukan privatisasi. Tetapi privatisasi yang diterapkan di Indonesia atas dorongan IMF malah membuat perusahaan-perusahaan milik pemerintah dikuasai oleh orang-orang asing karena daya belinya yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang Indonesia. Hal ini semakin membuat Indonesia dicabik-cabik oleh IMF.
Kegagalan IMF dalam membantu negara-negara yang terkena krisis sebenarnya sudah dapat dianalisis oleh Paul Krugman sejak tahun 1994. Krugman sudah memperingatkan bahwa ada dua keterbatasan IMF untuk dimintai pertolongan, yaitu keterbatasan modal dana dan keterbatasan modal politik. Keterbatasan dana terbukti pada tahun 1998, di mana untuk membanyu Brazil, Argentina, dan Rusia, IMF hanya mampu membantu antara $350 hingga $400 tiao 3-4 bulan. Selama kontrak 5 tahun untuk membanytu krisis Indonesia, IMF hanya membantu sekitar $5 miliar, sangat jauh dari kebutuhan. Sedangkan keterbatasan politik juga dapat dilihat dari tingkah IMF untuk menekan Indonesia. LOI (letters of Intent) merupakan salah satu produk politik IMF dalam menekan Indonesia. Hal ini karena IMF jauh lebih mengutamakan kepentingan negara kreditor, daripada “kesehatan” negara-negara yang sedang diobati/mengalami krisis.
Kegagalan IMF dalam membantu Indonesia adalah akibat dari ketidakmatangan IMF dalam mengatur program-program yang cocok untuk Indonesia. Mereka hanya mementingkan liberalisasi pasar, deregulasi, dan privatisasi di Indonesia untuk kepentingan perekonomian internasional. Padahal secara pendekatan ekonomi politik tidak akan mungkin dapat merubah sistem perekonomia suatu negara menjadi negara berbasis pasar dalam waktu “sekejap malam”. Hal ini ditambah buruk dengan tidak ada transparasi dari pemerintah Indonesia . ketidakjelasan langkah-langkah IMF menmbuat para pengusaha berspekulasi untuk menarik kesimpulan sendiri-sendiri yang mengakibatkan hancurnya nilai mata uang rupiah. Di lain pihak pemerintah Indonesia juga tidak serius dalam penanganan krisis ini karena tidak menjalankan agenda-agenda perubahan yang sudah disepakati oleh RI. Jadi selain karena IMF, krisis multidimensi berkepanjangan juga disebabkan oleh orang-orang dalam di Indonesia.


  •    Asian Development Bank (ADB)

Dalam konstelasi global, sebenarnya peranan ADB dalam membantu pembangunan di negara-negara kawasan Asia tidaklah besar. Secara nominal, nilai bantuan itu tidak lebih dari US$ 10 miliar/tahun. Jumlah itu hanya lebih sedikit dari stimulus fiskal yang dikeluarkan Indonesia pada tahun ini. Jika dana bantuan itu disebar ke berbagai negara, bisa dibayangkan betapa kecilnya donasi yang diberikan ADB ke negara yang memerlukannya. Oleh karena itu, mestinya peranan ADB tidak semata dilihat dari sisi jumlah dana yang dapat mereka kucurkan, melainkan dapat disimak dari sisi yang lain. Pada titik ini, peranan ADB tersebut bisa dilihat dari dua perspektif. Pertama, sejauh mana lembaga multilateral ini menjadi forum lintas negara Asia untuk mengembangkan tata ekonomi yang terpadu. Kedua, mengukur kontribusi lembaga ini dalam memformulasikan kesepakatan dan kerjasama ekonomi untuk mengurangi dampak pembangunan ekonomi, seperti kemiskinan.
Soal penetapan tata ekonomi yang terpadu, lembaga semacam ADB sebenarnya memiliki peluang yang besar untuk memformulasikan konsep tersebut. Seperti yang dipahami, globalisasi dan liberalisasi yang marak sejak dekade 1980-an telah memangsa negara-negara yang lemah perekonomiannya. Implikasinya, kemakmuran ekonomi memusat ke negara-negara maju. Sebagian negara yang menjadi pecundang dari arena globalisasi itu tidak lain adalah kawasan Asia. Di sinilah dibutuhkan forum lintas negara Asia yang dapat menjadi wadah mengatasi dan mendesain tata ekonomi yang lebih menguntungkan negara kawasan Asia, di mana ADB secara teoritis telah memiliki infrastrukturnya. ADB harus menjadi motor untuk mengembangkan model hubungan ekonomi yang saling menguntungkan, sekurangnya di antara negara-negara Asia, sehingga tidak dilindas oleh gelombang globalisasi. Sayangnya, peran ini tidak dimainkan oleh ADB secara massif.
Berikutnya, ADB selama ini juga tidak banyak menggalang kerjasama ekonomi yang terpadu untuk mengatasi persoalan-persoalan laten sebagai residu pembangunan ekonomi yang dilakukan, semacam kemiskinan, pengangguran, akses air bersih, sanitasi, gizi buruk, dan lain-lain. Di luar kawasan Afrika, Asia merupakan lokasi “pembenihan” penyakit-penyakit ekonomi dan sosial tersebut, yang celakanya berjalan seiring dengan percepatan pembangunan ekonomi yang dijalankan. Persoalannya, teramat sedikit negara di kawasan ini yang mampu menyelesaikan persoalan tersebut tanpa bantuan dari pihak lain. Sebab, solusi masalah itu bukan sekadar dana, tapi juga kesanggupan dari negara lain untuk berbagi pemahaman kebijakan ekonomi sehingga tidak menenggelamkan negara lain. Sekadar contoh, penetrasi komoditas China ke pasar negara Asia lain, baik secara legal maupun ilegal, berpotensi menghancurkan kegiatan produksi sehingga menimbulkan pengangguran.
Faktor Indonesia
Faktor lain yang kerap dilupakan adalah soal teknis yang mesti disepakati tentang mekanisme kerja dari lembaga multilateral semacam ADB ini. Dengan kepemilikan saham yang berbeda-beda antarnegara menyebabkan pengaruh tiap negara untuk mendesakkan keputusan juga berlainan. Inilah yang menyebabkan lembaga multilateral tidak lantas menjadi representasi dari Negara-negara anggotanya, melainkan wakil dari kepentingan negara yang memiliki pengaruh besar (melalui saham yang dipunyai). Fakta itu juga bisa disimak dari sepak terjang Bank Dunia dan IMF selama ini, yang secara de facto merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan negara maju. Oleh karena itu, ADB mestinya harus dihindarkan dari praktik yang tidak bagus tersebut, sehingga di masa depan keberadaannya tetap relevan. Namun, jika melihat pengalaman yang dikerjakan ADB hingga kini, rasanya tidak mudah pula untuk mengubah perilaku tersebut karena kepemilikan sahamnya tidak merata.
Secara singkat, praktik yang seharusnya dihindari oleh ADB dapat dijabarkan dalam dua aspek berikut. Pertama, ADB tidak boleh menjadikan bantuan dana yang diberikan ke negara-negara anggota sebagai instrumen mengambil keuntungan. Posisi mereka jelas bukanlah bank komersial ataupun makelar yang mengeruk laba dari pemberian pinjaman. Walaupun bunga yang dikenakan termasuk rendah, tapi secara substansial hal itu tetap tidak etis dikenakan kepada para peminjam karena dana itu akan dimanfaatkan bagi kepentingan non-komersial, seperti pengurangan kemiskinan dan penyediaan akses kebutuhan dasar. Kedua, harus dijauhi praktik menyatukan pemberian pinjaman dengan paket jasa konsultan (atau kebijakan) yang selama ini justru menjadi berita buruk bagi negara berkembang penerima pinjaman. Praktik ini bukan saja menyunat sebagian pinjaman yang diperoleh (untuk dibayarkan ke konsultan), tapi juga saran yang diberikan kerap kali (sengaja) keliru.
Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki andil cukup besar (karena menempati urutan keenam pemegam saham terbesar) diharapkan mengambil tempat paling depan menyuarakan ide-ide tersebut. Indonesia punya banyak alasan untuk melakukan itu, di antaranya karena pernah mengalami pengalaman buruk saat krisis ekonomi 1997/1998, di mana IMF dan Bank Dunia memanfaatkan bantuan yang diberikan untuk menekan kebijakan ekonomi nasional. Lebih dari itu, Indonesia seyogyanya juga memanfaatkan posisinya yang cukup kuat untuk menginisiasi forum lintas negara Asia dalam memformulasikan tata ekonomi yang ideal sekaligus memperbicangkan upaya penanganan masalah ekonomi yang kian rumit (kemiskinan, pengangguran, dan lain sebagainya). Peran ini merupakan misi suci yang dapat diambil Indonesia sehingga berkontribusi terhadap kehidupan ekonomi dunia (sekurangnya Asia) yang lebih bermartabat di masa depan. Hanya dengan inilah ADB menjadi tetap layak dipertahankan. Tetapi jika upaya itu menemui jalan buntu, sebaiknya ADB segera dikubur agar tidak menimbulkan masalah baru yang lebih besar lagi.
  •  World Bank 
Peranan Bank Dunia dalam perekonomian dunia adalah sangat vital.  Apalagi di waktu krisis saat ini, bantuan keuangan pada negara yang terkena dampak keuangan global sangat lah dibutuhkan. Namun bagi Indonesia, Bank Dunia juga merupakan mimpi buruk ketika krisis 1997 yang berbuntut pada jatuhnya Orde
Baru berikut pemerintahan Presiden Suharto. Salahnya management ekonomi di Indonesia telah membuat Indonesia terpuruk di dunia Internasional Namun 10 tahun kemudian, ketika krisis ekonomi dunia yang di mulai dari Amerika Serikat, Indonesia mampu mengatasi krisis dimana pertumbuhan ekonomi tetap stabil menurut catatan dari Badan Pusat Statistik Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2009 meningkat sebesar 4,5 persen terhadap tahun 2008, terjadi pada semua sektor ekonomi, dengan pertumbuhan tertinggi di Sektor  Pengangkutan dan Komunikasi 15,5 persen dan terendah di Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran1,1 persen. Pertumbuhan PDB tanpa minyak dan gas pada tahun 2009 mencapai 4,9 persen.




1 komentar:

  1. Saya ingin memberikan semua kemuliaan kepada Yang Maha Kuasa atas apa yang dia gunakan untuk Ibu Rossa dalam hidup saya, nama saya Mira Binti Muhammad dari kota bandung di indonesia, saya adalah seorang janda dengan 2 anak, suami saya meninggal dalam kecelakaan mobil dan Sejak saat itu kehidupan menjadi sangat kejam bagi saya dan keluarga saya dan saya telah mencoba beberapa tahun untuk mendapatkan pinjaman dari bank-bank di Indonesia dan saya ditolak dan ditolak karena saya tidak memiliki agunan dan tidak dapat memperoleh pinjaman dari bank dan saya sangat sedih
    Pada hari yang penuh dedakan ini saat saya melewati internet, saya melihat kesaksian Annisa tentang bagaimana dia mendapat pinjaman dari Ibu Rossa dan saya menghubungi dia untuk bertanya tentang perusahaan pinjaman ibu Rossa dan betapa benarnya pinjaman dari ibu Rossa dan dia mengatakan kepada saya itu benar dan saya menghubungi Ibu Rossa dan setelah mengajukan aplikasi pinjaman saya dan pinjaman saya diproses dan disetujui dan dalam waktu 24 jam saya mendapatkan uang pinjaman saya di rekening bank saya dan ketika saya memeriksa rekening saya, uang pinjaman saya utuh dan saya sangat bahagia dan saya telah berjanji bahwa saya akan membantu untuk memberi kesaksian kepada orang lain tentang perusahaan pinjaman ibu rossa, jadi saya ingin menggunakan media ini untuk memberi saran kepada siapa saja yang membutuhkan pinjaman untuk menghubungi Mrs. Rossa melalui email: rossastanleyloancompany@gmail.com dan Anda Bisa juga hubungi saya via email saya: mirabintimuhammed@gmail.com untuk informasi serta teman-teman Annisa Barkarya via email: annisaberkarya@gmail.com

    BalasHapus